Hawa sejuk di danau Gunung Rowo menyelimuti peserta diskusi buku Hidup,
Cinta, dan Bahagia (Gramedia 2014). Tempat ini sangat indah dan nyaman
untuk membahas sebuah buku. Danau Gunung Rowo terletak di lereng Gunung Muria
sebelah timur, di desa Situluhur, kecamatan Gembong, kabupaten Pati.
Disertai kopi yang dibeli di warung penduduk setempat, peserta Tadarus Buku
dengan asyiknya mengupas lapis demi lapis buku karya M. Iqbal Dawami ini, yang
kebetulan penulisnya menjadi salah satu anggota juga. Yuk kita simak, apa saja
yang mereka perbincangkan soal buku tersebut?
“Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Ini adalah sebuah karya yang
hebat,” ujar Peng Kheng Sun, salah satu peserta diskusi yang juga seorang
penulis buku. Ia memuji kover buku ini yang eye-catching, katanya. “Bahasa
yang digunakannya juga sangat bagus. Mengalir dan enak dibaca,” lanjut Peng. Sebagai
penulis, Peng ikut merasakan bagaimana rasanya menjadi penulis. Ia mengomentari
pernyataan penulis yang sebelumnya menjelaskan soal suka-dukanya menulis buku
ini.
Peng menjelaskan bahwa ketika menulis buku dirinya selalu gelisah saat tidak
juga merampungkannya. Hal itu bertolak belakang dengan M. Iqbal Dawami, dimana
pada saat merampungkan naskah ini tidak buru-buru. Iqbal mengaku menulis buku
ini kurang-lebih 1 tahun. Ia tulis di sela-sela pekerjaannya dulu pada saat
menjadi editor di salah penerbit besar di Yogyakarta. Ia menulisnya sebelum
masuk kantor dan pada malam hari.
Khairun Niam, peresensi dan redaktur Jurnal Khittah, menceritakan, buku ini
mendapat tanggapan positif dari seorang kawannya. “Kata kawan saya buku ini
enak dibaca. Dia mengatakan kok bisa ya menuliskan kisah-kisah keseharian
penulisnya, misalnya kisah dengan anaknya, yang ditulis dengan begitu memikat. Sepertinya
juga sangat bijak orangnya.” Mendengar kisah tersebut, Iqbal dan para peserta diskusi
lainnya tertawa.
Andi Irawan, ketua Lakpesdam NU Pati, menyoroti isi buku ini dengan
mengatakan, “Buku ini dapat dimasukkan kategori motivasi-spiritual, yakni
perihal bagaimana manusia dapat memaknai hidup melalui aktivitas kesehariannya.”
Andi juga berusaha memetakan isi buku ini soal keberanian untuk melangkah. Setelah
melangkah hal yang dilakukan adalah istiqamah. Itulah kunci kesuksesan hidup. Di
dalam istiqamah itu akan ada banyak ujian dan cobaan yang akan menghadang. Untuk
itu diperlukan pengorbanan. Nah, melalui kisah-kisah dalam buku inilah mencoba
membuktikan tesisnya itu perihal kebahagiaan hidup.
Penulis buku ini menggunakan metode kisah dalam menyampaikan pesannya. Di dalamnya
ada kisah nabi, tokoh, dan kisah penulisnya. Karena, ujar Andi, melalui kisah
pembaca akan mampu menginternalisasi nilai-nilainya. Masyarakat pada umumnya juga
senang kisah. Jadi kesannya tidak menggurui.
Kritik
Para peserta diskusi hampir semua sepakat bahwa kisah-kisah yang diangkat terlalu
main stream. Kisahnya jamak diketahui khalayak pembaca yang senang
dengan buku-buku semacam ini. Jadi, tidak ada yang baru sama sekali dengan
kisah yang diangkatnya. Orang sudah bosan dengan kisah-kisah itu melulu,
seperti Jalaluddin Rumi dan Mahatma Gandhi, sebagaimana ada dalam buku ini. Pembaca
pemula mungkin akan takjub dengan kisah-kisah tersebut karena baru
mendengarnya, tapi bagi pembaca yang terbiasa dengan kisah-kisah itu tidak merasakan
hal yang baru.
Tidak hanya itu, Peng juga mengkritik soal kisah yang tidak pas untuk
diangkat pesannya. Misalnya kisah Nabi Musa yang memukulkan tongkatnya sehingga
dapat membelah lautan. Itu terlalu absurd bagi manusia biasa. Musa bukanlah
sandingan dengan manusia biasa. Jadi tidaklah tepat untuk mengambil sampel
kisahnya lewat Musa, notabene-nya seorang Nabi yang mendapat mukjizat dan
mendapat bimbingan Ilahi.
Ada juga kisah yang hanya indah dalam buku, tapi pada realitanya tidak
seindah itu. Seperti kisah tentang burung yang sayapnya patah. Walaupun pesannya
benar, tapi susah sekali untuk diamalkan dalam keseharian.
Niam memberikan masukan berharga agar penulis mengangkat kisah-kisah orang biasa tapi punya prestasi luar biasa. Karena,
ada begitu banyak di sekitar kita orang-orang hebat namun tidak populer dan
tidak menjual di mata media. Itulah sebetulnya yang harus diangkat. Masukan dari
Niam diamini oleh Peng Khen Sun. Bahwa dengan mengangkat orang-orang yang
berada di sekitar kita itu lebih nyata dan konkret. Dan saat mengisahkankannya akan
otentik, karena tidak semua orang menuliskan kisa orang tersebut.
Tidak hanya itu, ada beberapa judul yang dipaksakan untuk dimasukkan ke
dalam buku ini. Misalnya, bab “Apa Kabar Cinta?” “Saya tidak menemukan apa-apa
dalam tulisan itu. Kesannya hanya sisipan saja, sekadar menambah tulisan agar menambah
halaman,” ujar Niam. Ada juga tulisan yang masih membutuhkan penjelasan. Kisah dan
pesannya masih menggantung. Tulisan yang dimaksud adalah “Imam Syafi’i Hafal
Al-Quran di Usia Tujuh Tahun”. Justru tentang Imam Syafi’i hanya sedikit saja disinggung,
selebihnya soal lain.
Peserta diskusi sepakat bahwa buku ini layak dibaca semua kalangan, terutama
kalangan menengah. Karena ini adalah sebuah buku yang sangat diperlukan untuk
zaman sekarang dimana “keuangan yang maha esa” menjadi panglimanya. Buku ini
menjadi lonceng pengingat akan hakikat hidup yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar