Forum para pecinta buku dari berbagai profesi yang bermukim di Pati (Jawa Tengah).
Bagi penerbit/penulis yang ingin didiskusikan bukunya dapat menghubungi kami. Contact Person: 085865539844 (Niam)

Rabu, 24 Desember 2014

Diskusi Buku: Hidup, Cinta, dan Bahagia



Hawa sejuk di danau Gunung Rowo menyelimuti peserta diskusi buku Hidup, Cinta, dan Bahagia (Gramedia 2014). Tempat ini sangat indah dan nyaman untuk membahas sebuah buku. Danau Gunung Rowo terletak di lereng Gunung Muria sebelah timur, di desa Situluhur, kecamatan Gembong, kabupaten Pati.

Disertai kopi yang dibeli di warung penduduk setempat, peserta Tadarus Buku dengan asyiknya mengupas lapis demi lapis buku karya M. Iqbal Dawami ini, yang kebetulan penulisnya menjadi salah satu anggota juga. Yuk kita simak, apa saja yang mereka perbincangkan soal buku tersebut?

“Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Ini adalah sebuah karya yang hebat,” ujar Peng Kheng Sun, salah satu peserta diskusi yang juga seorang penulis buku. Ia memuji kover buku ini yang eye-catching, katanya. “Bahasa yang digunakannya juga sangat bagus. Mengalir dan enak dibaca,” lanjut Peng. Sebagai penulis, Peng ikut merasakan bagaimana rasanya menjadi penulis. Ia mengomentari pernyataan penulis yang sebelumnya menjelaskan soal suka-dukanya menulis buku ini.

Peng menjelaskan bahwa ketika menulis buku dirinya selalu gelisah saat tidak juga merampungkannya. Hal itu bertolak belakang dengan M. Iqbal Dawami, dimana pada saat merampungkan naskah ini tidak buru-buru. Iqbal mengaku menulis buku ini kurang-lebih 1 tahun. Ia tulis di sela-sela pekerjaannya dulu pada saat menjadi editor di salah penerbit besar di Yogyakarta. Ia menulisnya sebelum masuk kantor dan pada malam hari.    

Khairun Niam, peresensi dan redaktur Jurnal Khittah, menceritakan, buku ini mendapat tanggapan positif dari seorang kawannya. “Kata kawan saya buku ini enak dibaca. Dia mengatakan kok bisa ya menuliskan kisah-kisah keseharian penulisnya, misalnya kisah dengan anaknya, yang ditulis dengan begitu memikat. Sepertinya juga sangat bijak orangnya.” Mendengar kisah tersebut, Iqbal dan para peserta diskusi lainnya tertawa.   



Andi Irawan, ketua Lakpesdam NU Pati, menyoroti isi buku ini dengan mengatakan, “Buku ini dapat dimasukkan kategori motivasi-spiritual, yakni perihal bagaimana manusia dapat memaknai hidup melalui aktivitas kesehariannya.” Andi juga berusaha memetakan isi buku ini soal keberanian untuk melangkah. Setelah melangkah hal yang dilakukan adalah istiqamah. Itulah kunci kesuksesan hidup. Di dalam istiqamah itu akan ada banyak ujian dan cobaan yang akan menghadang. Untuk itu diperlukan pengorbanan. Nah, melalui kisah-kisah dalam buku inilah mencoba membuktikan tesisnya itu perihal kebahagiaan hidup.

Penulis buku ini menggunakan metode kisah dalam menyampaikan pesannya. Di dalamnya ada kisah nabi, tokoh, dan kisah penulisnya. Karena, ujar Andi, melalui kisah pembaca akan mampu menginternalisasi nilai-nilainya. Masyarakat pada umumnya juga senang kisah. Jadi kesannya tidak menggurui.

Kritik

Para peserta diskusi hampir semua sepakat bahwa kisah-kisah yang diangkat terlalu main stream. Kisahnya jamak diketahui khalayak pembaca yang senang dengan buku-buku semacam ini. Jadi, tidak ada yang baru sama sekali dengan kisah yang diangkatnya. Orang sudah bosan dengan kisah-kisah itu melulu, seperti Jalaluddin Rumi dan Mahatma Gandhi, sebagaimana ada dalam buku ini. Pembaca pemula mungkin akan takjub dengan kisah-kisah tersebut karena baru mendengarnya, tapi bagi pembaca yang terbiasa dengan kisah-kisah itu tidak merasakan hal yang baru.

Tidak hanya itu, Peng juga mengkritik soal kisah yang tidak pas untuk diangkat pesannya. Misalnya kisah Nabi Musa yang memukulkan tongkatnya sehingga dapat membelah lautan. Itu terlalu absurd bagi manusia biasa. Musa bukanlah sandingan dengan manusia biasa. Jadi tidaklah tepat untuk mengambil sampel kisahnya lewat Musa, notabene-nya seorang Nabi yang mendapat mukjizat dan mendapat bimbingan Ilahi.

Ada juga kisah yang hanya indah dalam buku, tapi pada realitanya tidak seindah itu. Seperti kisah tentang burung yang sayapnya patah. Walaupun pesannya benar, tapi susah sekali untuk diamalkan dalam keseharian.



Niam memberikan masukan berharga agar penulis mengangkat kisah-kisah orang  biasa tapi punya prestasi luar biasa. Karena, ada begitu banyak di sekitar kita orang-orang hebat namun tidak populer dan tidak menjual di mata media. Itulah sebetulnya yang harus diangkat. Masukan dari Niam diamini oleh Peng Khen Sun. Bahwa dengan mengangkat orang-orang yang berada di sekitar kita itu lebih nyata dan konkret. Dan saat mengisahkankannya akan otentik, karena tidak semua orang menuliskan kisa orang tersebut.

Tidak hanya itu, ada beberapa judul yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam buku ini. Misalnya, bab “Apa Kabar Cinta?” “Saya tidak menemukan apa-apa dalam tulisan itu. Kesannya hanya sisipan saja, sekadar menambah tulisan agar menambah halaman,” ujar Niam. Ada juga tulisan yang masih membutuhkan penjelasan. Kisah dan pesannya masih menggantung. Tulisan yang dimaksud adalah “Imam Syafi’i Hafal Al-Quran di Usia Tujuh Tahun”. Justru tentang Imam Syafi’i hanya sedikit saja disinggung, selebihnya soal lain.


Peserta diskusi sepakat bahwa buku ini layak dibaca semua kalangan, terutama kalangan menengah. Karena ini adalah sebuah buku yang sangat diperlukan untuk zaman sekarang dimana “keuangan yang maha esa” menjadi panglimanya. Buku ini menjadi lonceng pengingat akan hakikat hidup yang sebenarnya.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar